Emotional Spending

Emotional Spending: Mengenali Arti, Tanda, Cara Mengelolanya dengan Bijak

Pernahkah kamu tiba-tiba membeli sepatu mahal setelah hari yang melelahkan di kantor? Atau mengisi keranjang belanja online saat merasa bosan di rumah? Jika ya, kamu mungkin mengalami emotional spending, sebuah kebiasaan belanja berdasarkan emosi, bukan kebutuhan.

Di era digital seperti sekarang, fenomena ini semakin umum dialami generasi muda Indonesia. Kemudahan akses belanja online, paparan promosi di media sosial, hingga sistem pembayaran “buy now, pay later” membuat emotional spending menjadi tantangan nyata bagi stabilitas keuangan banyak orang. Berdasarkan survei NielsenIQ Indonesia 2024, 41% konsumen Indonesia menjadi lebih berhati-hati dalam pengeluaran akibat kekhawatiran terhadap kesejahteraan pribadi dan stabilitas pekerjaan. Namun paradoksnya, perilaku belanja impulsif justru meningkat sebagai bentuk pelarian dari tekanan tersebut.

Mari kita bahas lebih dalam tentang emotional spending serta bagaimana cara mengelolanya agar keuanganmu tetap sehat.

Baca juga: Smart Spending: Belanja Boleh, Asal Pakai Strategi Ini

Apa Itu Emotional Spending?

Emotional spending adalah perilaku belanja dipicu oleh dorongan emosional seperti stres, bosan, sedih, cemas, atau terlalu bahagia, bukan berdasarkan kebutuhan nyata. Berbeda dengan belanja terencana, pembelian ini bersifat impulsif. Seringkali diikuti rasa menyesal setelahnya.

Menurut penelitian Gerald Zaltman dari Harvard Business School, sekitar 95% keputusan pembelian dilakukan secara tidak sadar. Kondisi emosional saat itu sangat berpengaruh. Ketika seseorang mengalami tekanan psikologis, area amigdala di otak menjadi lebih aktif. Area ini mengontrol emosi, sementara prefrontal cortex, bagian otak untuk keputusan rasional, justru melemah.

Fenomena ini berbeda dengan retail therapy lebih fokus pada masalah pribadi seperti percintaan atau karir. Belanja emosional lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti ketidakpastian ekonomi, tekanan sosial media, kondisi keuangan global.

Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 dari OJK serta BPS, indeks literasi keuangan Indonesia mencapai 65,43 persen. Meskipun angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, masih terdapat ruang besar untuk perbaikan dalam pemahaman finansial masyarakat. Terutama di kalangan generasi muda rentan terhadap perilaku belanja emosional.

Emotional Spending
Sumber gambar: Freepik

Mengapa Emotional Spending Marak Terjadi?

Beberapa faktor utama membuat emotional spending semakin umum, terutama di kalangan Gen Z, milenial Indonesia:

Ketidakpastian Ekonomi dan Masa Depan

Ketika masa depan terasa tidak menentu, banyak orang mencari cara untuk mendapatkan rasa kontrol kembali. Belanja memberikan kepuasan sesaat membuat mereka merasa “mengendalikan” sesuatu di tengah kekacauan. Pandemi COVID-19, inflasi, tekanan biaya hidup di kota besar menciptakan lingkungan penuh kecemasan mendorong belanja sebagai mekanisme koping.

Pengaruh Media Sosial yang Kuat

Platform seperti Instagram, TikTok, YouTube menampilkan gaya hidup glamor memicu FOMO (fear of missing out). Menurut penelitian tentang doom spending di kalangan Gen Z Kota Tegal 2024, media sosial berpengaruh signifikan terhadap belanja impulsif. Paparan konten promosi terus-menerus meningkatkan kecenderungan konsumsi.

Algoritma digital menganalisis perilaku konsumen, menciptakan iklan personal sangat menggoda.

Kemudahan Akses Belanja Online

Dengan beberapa klik, kamu bisa membeli apapun dari mana saja. Sistem pembayaran seperti “buy now, pay later” memberikan ilusi tidak ada beban finansial langsung.

Berdasarkan data OJK per Juli 2024, outstanding pinjaman online mencapai Rp63,54 triliun. Mayoritas pengguna berada di rentang usia 19-34 tahun, kelompok Gen Z, milenial paling rentan terhadap belanja emosional.

Tekanan Hidup dan Burnout

Banyak generasi muda bekerja di industri dengan tuntutan tinggi, mengalami kelelahan emosional hingga burnout. Berbelanja sering dipandang sebagai cara untuk mengurangi stres atau merayakan pencapaian pribadi mungkin tidak terpenuhi di dunia profesional.

Impulsive Buying
Sumber gambar: Freepik

Tanda-Tanda Kamu Mengalami Emotional Spending

Bagaimana cara mengetahui apakah kebiasaan belanjamu termasuk emotional spending? Berikut beberapa tanda yang perlu kamu waspadai:

Belanja Impulsif Tanpa Perencanaan

Kamu sering membeli barang secara mendadak tanpa mempertimbangkan anggaran atau kebutuhan. Pembelian ini tidak direncanakan, terjadi karena dorongan emosional sesaat. Misalnya, membeli gadget baru saat merasa stres karena pekerjaan padahal gadget lama masih berfungsi baik.

Menyesal Setelah Berbelanja

Setelah membeli sesuatu, kamu merasa bersalah atau menyesal karena menyadari barang tersebut sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Paket dibeli bahkan sering dibiarkan tidak dibuka. Atau pakaian masih dengan label terpasang karena ternyata tidak penting.

Bergantung pada Kartu Kredit

Kamu menggunakan kartu kredit atau pinjaman untuk mendanai gaya hidup sebenarnya di luar kemampuan. Ini menciptakan lingkaran utang semakin sulit untuk keluar. Terutama ketika pengeluaran terus meningkat tanpa diimbangi pendapatan.

Baca juga: Tips & Cara Menentukan Limit Kartu Kredit agar Aman

Belanja Saat Emosi Tidak Stabil

Setiap kali merasa bosan, sedih, marah, atau terlalu bahagia, kamu langsung membuka aplikasi belanja online. Belanja menjadi pelarian dari masalah emosional. Memberikan pengalihan sementara tetapi tidak menyelesaikan akar masalah mendasari stres tersebut.

Menyembunyikan Pembelian

Kamu menyembunyikan pembelian dari pasangan atau orang terdekat karena tahu belanja tersebut tidak rasional. Ini menunjukkan secara sadar kamu menyadari perilaku belanja emosional sudah berlebihan.

Mengikuti Tren Tanpa Pertimbangan

Kamu membeli barang hanya karena sedang tren atau banyak dibicarakan di media sosial, padahal tidak benar-benar membutuhkannya. Tren akan terus berganti dengan cepat. Mengikuti setiap tren baru akan menghabiskan banyak uang tanpa memberikan nilai jangka panjang.

Kesalahan keuangan anak muda paling umum

Dampak Negatif Emotional Spending Terhadap Keuangan

Meskipun memberikan kepuasan sesaat, emotional spending membawa konsekuensi serius bagi kesehatan finansialmu:

Akumulasi Utang yang Tidak Terkendali

Gen Z, milenial sering mengandalkan kartu kredit atau layanan paylater mempermudah pembelian tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang. Utang menumpuk dengan cepat. Bunga tinggi membuat beban finansial semakin berat.

Menghambat Tujuan Finansial Jangka Panjang

Uang seharusnya dialokasikan untuk dana darurat, investasi, atau rencana besar seperti membeli rumah malah habis untuk belanja impulsif. Tujuan keuangan seperti dana pensiun atau pendidikan anak bisa tertunda bertahun-tahun. Hanya karena keputusan kecil dilakukan terlalu sering.

Stres Keuangan yang Berkepanjangan

Ironisnya, emotional spending awalnya dilakukan untuk mengatasi stres justru menciptakan stres baru. Tagihan menumpuk, tabungan kosong. Kekhawatiran finansial lebih besar menghantui kehidupan sehari-hari.

Sulit Membangun Kebiasaan Finansial Sehat

Dalam jangka panjang, belanja emosional membuat seseorang sulit membangun disiplin keuangan. Cash flow berantakan, kemampuan menabung menurun. Proses membangun keamanan finansial terhambat.

cara mengatur pengeluaran bulanan
Sumber gambar: Freepik

Strategi Efektif Mengelola Emotional Spending

Kabar baiknya, emotional spending bisa dikendalikan dengan strategi yang tepat. Berikut cara-cara yang bisa kamu terapkan:

Kenali Pemicu Emosionalmu

Langkah pertama adalah menyadari kapan kamu paling sering belanja impulsif. Apakah saat stres kerja? Ketika bosan di rumah? Atau setelah melihat postingan influencer di Instagram? Catat pola ini selama beberapa minggu. Dengan memahami trigger emosional, kamu bisa lebih waspada, tidak langsung bertindak impulsif ketika dorongan belanja muncul.

Terapkan Aturan 24-48 Jam

Saat tergoda membeli sesuatu, jangan langsung checkout. Simpan barang di keranjang belanja, tunggu 24-48 jam. Gunakan waktu ini untuk bertanya pada diri sendiri: “Apakah aku benar-benar membutuhkan ini?” Jeda waktu ini memberikan kesempatan untuk berpikir lebih rasional. Sering kali mengurangi dorongan belanja impulsif.

Buat Anggaran Belanja yang Jelas

Susun anggaran bulanan dengan metode mudah diikuti, seperti aturan 50/30/20: 50% untuk kebutuhan pokok, 30% untuk hiburan, gaya hidup, 20% untuk tabungan, investasi. Dengan panduan keuangan tegas, kamu bisa lebih disiplin dalam mengatur pengeluaran. Tidak mudah tergoda belanja di luar rencana.

Cari Alternatif Sehat untuk Mengatasi Emosi

Ketika dorongan belanja muncul, alihkan perhatian dengan aktivitas lain lebih sehat, tidak menghabiskan uang. Cobalah berjalan-jalan di taman, olahraga ringan, bertemu teman untuk mengobrol, menulis jurnal, atau menonton film favorit. Aktivitas-aktivitas ini bisa memberikan efek positif sama tanpa membebani dompetmu.

Manfaatkan Teknologi untuk Kontrol Keuangan

Di era digital, banyak aplikasi keuangan dapat membantu melacak pengeluaran, mengatur anggaran. Salah satu pilihannya adalah Mayapada Skorcard, kartu kredit dirancang untuk membantu kamu mengelola pengeluaran dengan sistematis sekaligus mendapatkan keuntungan tambahan berupa Skorpoint hingga KrisFlyer Miles.

Dengan sistem gamifikasi, tracking pengeluaran terintegrasi, Mayapada Skorcard memudahkan kamu memantau pola belanja, mengidentifikasi area perlu dikurangi. Kamu juga bisa mendapatkan reward dari setiap transaksi. Pengelolaan keuangan terasa lebih menyenangkan, produktif.

Pisahkan Rekening untuk Tujuan Berbeda

Buat rekening terpisah untuk kebutuhan rutin, dana darurat, investasi, hiburan. Dengan cara ini, kamu tidak akan “terseret” menggunakan uang investasi untuk belanja impulsif. Begitu gajian, langsung sisihkan untuk investasi, tabungan sebelum mengalokasikan sisanya untuk keperluan lain.

Kurangi Paparan Promosi

Batasi eksposur terhadap iklan, promosi dengan cara matikan notifikasi dari aplikasi marketplace, unfollow akun sering memicu keinginan belanja, hapus metode pembayaran otomatis di aplikasi belanja. Hindari membuka aplikasi belanja tanpa tujuan jelas. Semakin sedikit pemicu, semakin kecil dorongan untuk belanja emosional.

Terapkan Mindful Spending dengan Teknik STOP

Mindful spending adalah cara mengelola uang dengan sadar, membuat keputusan belanja berdasarkan kebutuhan, nilai pribadi, bukan tekanan sosial atau emosi sesaat. Teknik STOP diadaptasi dari Dialectical Behavior Therapy (DBT) sangat efektif untuk ini:

  • S (Stop): Berhenti sejenak sebelum membeli
  • T (Take a breath): Tarik napas dalam untuk menenangkan diri
  • O (Observe): Amati emosi sedang kamu rasakan, apakah ini kebutuhan atau FOMO?
  • P (Proceed): Lanjutkan membeli hanya jika keputusan berasal dari kebutuhan, bukan emosi

Dengan menerapkan strategi-strategi ini secara konsisten, kamu bisa mengubah pola emotional spending menjadi kebiasaan finansial lebih sehat, produktif.

Baca juga: Apa Itu Budgeting & Cara Mengatur Anggaran

Membangun Literasi Keuangan untuk Masa Depan Lebih Baik

Mengatasi emotional spending bukan hanya tentang menahan diri dari belanja, tetapi juga tentang membangun pemahaman finansial lebih baik. Berdasarkan hasil SNLIK 2024, kelompok usia 26-35 tahun memiliki indeks literasi keuangan tertinggi sebesar 74,82%, diikuti kelompok 36-50 tahun (71,72%), 18-25 tahun (70,19%). Ini menunjukkan literasi keuangan dapat ditingkatkan melalui edukasi, praktik konsisten.

Mulailah dengan mempelajari dasar-dasar pengelolaan keuangan: cara membuat anggaran, pentingnya dana darurat, strategi investasi sederhana, manajemen utang. Banyak sumber edukasi gratis tersedia online, mulai dari artikel, video YouTube, hingga webinar keuangan. Dengan pemahaman lebih baik, kamu akan lebih mudah membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Membuat keputusan finansial lebih bijak.

Aplikasi Skorlife juga dapat membantu kamu memantau kondisi finansial secara menyeluruh. Dengan fitur pengecekan skor kredit, riwayat keuangan secara real-time, kamu bisa lebih aware terhadap kesehatan finansialmu lalu mengambil langkah perbaikan diperlukan sebelum masalah keuangan menjadi lebih besar.

Kesimpulan: Kendalikan Emotional Spending, Raih Kebebasan Finansial

Emotional spending adalah tantangan nyata dihadapi banyak orang, terutama di era digital dengan kemudahan akses belanja online, tekanan media sosial konstan. Namun, dengan kesadaran, strategi tepat, komitmen untuk berubah, kamu bisa mengendalikan perilaku ini lalu membangun kesehatan finansial lebih baik.

Ingatlah kebahagiaan sejati tidak berasal dari barang-barang kita beli, melainkan dari stabilitas keuangan, kemampuan mencapai tujuan hidup jangka panjang. Mulai sekarang, kenali pemicu emosionalmu, terapkan strategi pengelolaan keuangan sehat, lalu manfaatkan alat bantu seperti Mayapada Skorcard untuk memudahkan tracking pengeluaran sekaligus mendapatkan reward dari setiap transaksi.

Kamu bisa memulai perjalanan finansial lebih terstruktur, menyenangkan. Dengan Mayapada Skorcard, tidak hanya pengeluaran terkontrol, tapi kamu juga mendapatkan benefit berupa Skorpoint dapat dikonversi menjadi KrisFlyer Miles untuk mewujudkan impian traveling. Kartu kredit dirancang untuk generasi muda ini memberikan limit hingga Rp50 juta dengan sistem gamifikasi membuat pengelolaan keuangan terasa lebih engaging.

Ambil kendali atas keuanganmu hari ini, bangun masa depan finansial lebih cerah!


FAQ tentang Emotional Spending

Apa Itu Emotional Spending?

Emotional spending adalah perilaku belanja yang dipicu oleh dorongan emosional seperti stres, bosan, sedih, atau terlalu bahagia, bukan berdasarkan kebutuhan nyata. Sekitar 95% keputusan pembelian dilakukan secara tidak sadar dan dipengaruhi oleh kondisi emosional seseorang.

Apa Saja Tanda-Tanda Emotional Spending?

Tanda utamanya meliputi belanja impulsif tanpa perencanaan, merasa menyesal setelah berbelanja, bergantung pada kartu kredit untuk gaya hidup, belanja saat emosi tidak stabil, menyembunyikan pembelian dari orang terdekat, dan membeli barang hanya karena mengikuti tren.

Bagaimana Cara Mengatasi Emotional Spending?

Kamu bisa mengatasi emotional spending dengan mengenali pemicu emosional, menerapkan aturan 24-48 jam sebelum membeli, membuat anggaran belanja yang jelas, mencari alternatif sehat untuk mengatasi emosi, memanfaatkan aplikasi keuangan untuk tracking pengeluaran, dan menerapkan teknik mindful spending.

Apa Perbedaan Emotional Spending dan Retail Therapy?

Retail therapy lebih fokus pada masalah pribadi seperti percintaan atau karir, sementara emotional spending lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti ketidakpastian ekonomi, tekanan media sosial, dan kondisi keuangan global. Keduanya sama-sama melibatkan belanja impulsif, namun dengan pemicu yang berbeda.

Apa Dampak Negatif dari Emotional Spending?

Dampak negatifnya meliputi akumulasi utang yang tidak terkendali, menghambat tujuan finansial jangka panjang seperti dana pensiun atau membeli rumah, menciptakan stres keuangan berkepanjangan, dan menyulitkan pembangunan kebiasaan finansial yang sehat untuk masa depan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *